~~**@@**~~
~~**@@**~~
~~**@@**~~
Oleh : Busranto Abdullatif Doa
Sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya, “Cakalele” merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini. Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara, yang kemudian meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon & Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung Sulawesi bagian utara (di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini) dan juga di kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang berasal dari kosa kata bahasa Ternate.
PENGERTIAN
Menurut budayawan asli Ternate Abdul Hamid Hasan, dalam bukunya; “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” (1999), menguraikan bahwa pengertian Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu “Caka” (syaitan/roh) dan “Lele” (mengamuk). Hingga saat ini masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat, istilah serupa adalah “Suwanggi“. Jadi, pengertian kata Cakalele secara harafiah berarti “setan / roh mengamuk”. Bila jiwa seseorang telah dirasuki syaitan/roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakalele di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam “Legu Kie se Gam” berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain.
Pada upacara resmi lain, penampilan atraksi serupa Cakalele biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan Cakalele, maka juga disering disebut orang sebagai Cakalele. Hasa hanya merupakan atraksi menyerupai Cakalele. Bedanya para pelaku atraksi Hasa tersebut berada dalam keadaan sadar (termasuk dalam atraksi pertarungan karena jiwanya tidak terasuk roh/jin). Tidak demikian hal dengan Cakalele, karena jiwa pelaku dari kedua belah pihak yang sedang atraksi (bertarung) telah dirasuki syaitan/roh, sehingga semua gerakan yang dilakukan adalah dibawah alam sadar.
Ada dua bentuk atraksi lain yang menyerupai Cakalele, yaitu; “Salai Jin” dan “Hasa” seperti yang saya sebutkan di atas. Salai Jin adalah bentuk upacara memohon bantuan sahabat dari dunia gaib untuk mengatasi persoalan yang timbul di dalam suku atau dalam suatu keluarga. Misalnya untuk mengobati warga suku atau anggota keluarga yang sakit, maka diadakan Salai Jin ini, dengan mempersiapkan perlengkapan pelaksanan upacara itu sesuai adat istiadat yang berlaku.
Adapun peralatan yang digunakandalam Cakalele dan Hasa ini terdiri atas; Parang (Pedang), Salawaku (Perisai kayu) dan bahkan tombak. Salawaku biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang yang berbentuk angka kembang sesuai angka perhitungan menurut kepercayaan sebagai “Jimat” agar mempan menangkis serangan musuh. Sedangkan musik yang mengiringi atraksi Cakalele disebut “Tepe-Tepe” yang peralatannya terdiri dari dua buah Tifa dan satu buah Genderang serta sebuah gong tembaga yang dijadikan alat memukul untuk mengeluarkan suara yang menambah suasana hirukpiruk.
Sebagaimana Cakalele, pelaku Hasa juga menggunakan parang dan salawaku dan menari-nari seperti orang kerasukan dan haus akan perang sambil tangan kanannya diangkat ke atas melambai-lambaikan parang yang digenggamnya, sedangkan tangan kiri biasanya memegang salawaku / perisai yang dilipat ke depan dadanya (lihat gambar). Ritual pengobatan biasanya dilakukan setelah pelakunya dirasuki roh sahabatnya gaib-nya, barulah sipelaku itu dapat mengobati warga yang sakit ataupun orang-orang yang datang minta pertolongan dan pengobatan kepadanya pada saat itu.
Dalam peperangan yang sesungguhnya, apabila seseorang yang menghadapi perang dan telah siap dengan parang atau tombak atau salawaku dengan mata terbelalak berlari menuju musuh serta merta pelaku biasanya berteriak; “Aulee… Aulee… Aulee…”, yang berarti “darah membanjir…” dan terjadilah bunuh-membunuh dalam peperangan tersebut. Kemungkinan kata Aulee ini berasal dari gabungan dua kata, yaitu “Au” yang berarti darah, dan “leo” yang berarti mengalir atau membanjir. Kebiasaan pelaku apabila mencapai kemenangan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib sahabat yang merasuki dalam dirinya. Demikian gambaran peperangan yang terjadi pada jaman dahulu yang diceriterakan oleh beberapa orang tua-tua di Ternate yang saya wawancarai beberapa waktu yang lalu.
Acara besar-besaran yang dilaksanakan oleh setiap suku terhadap sahabat gaib-nya ini disebut dengan “Legu Kie se Gam”. Ini adalah pengertian awal dari “Legu Gam” yang sebenarnya (dahulu). Pada akhir-akhir ini, pengertian Legu Gam (modern) lebih mengarah pada acara “Pesta Rakyat” yang dilaksanakan secara besar-besaran yang dihadiri oleh seluruh masyarakat yang dilaksanakan rutin setiap tahun di alun-alun keraton kesultanan sejak enam tahun yang lalu, adalah bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Sri Sultan Ternate Mudafar Syah II. Pesta Rakyat (Legu Gam) ini dilaksanakan dalam rangka melestarikan budaya tradisional dan menambah nilai jual pariwisata Maluku Utara. (Bahasan tentang Legu Gam – Modern ini akan dibuat dalam posting tersendiri).
JENIS-JENIS ROH GAIB YANG DIKENAL DI TERNATE
Di dearah ini, masyarakat tradisional mengenal beberapa jenis nama roh gaib yang dapat dipakai sebagai sahabat, diantaranya;
1. Wonge
2. Jin
3. Meki (Lobi-Lobi)
4. Caka (Suwanggi)
5. Puntiana (Kuntilanak)
6. Giki, dan
7. Mancia Moro, (Manusia Gaib, bukan roh gaib)
Para roh gaib ini dijadikan sahabat dengan ketentuan si pemilik (pelaku yang telah bersahabat dengan roh gaib) harus dapat memenuhi tuntutan roh gaib tersebut, antara lain menyediakan tempat untuk roh gaib jenis Wonge ini yang biasa disebut “Fala Wonge” di salah satu sudut di dalam / luar rumah atau di sekitar tempat tinggalnya. (Lihat Gambar) Pemilik Fala Wonge ini pada saat tertentu wajib menyediakan sesajen yang dibutuhkan pada saat-saat tertentu . Apabila si pemilik menghendaki sesuatu bantuan kekuatan atau pengobatan dari roh gaib, maka ia harus melaksanakan upacara ritual dengan menyajikan sesajen yang telah ditentukan. (Bahasan tentang ini akan kupas kemudian dengan artikel yang berjudul; “WONGE, Tradisi Ritual Pemujaan Roh Gaib”).
Roh gaib berupa Jin ini oleh masyarakat tradisional Ternate juga pemahamannya sama dengan yang diyakini di daerah-derah lain di Nusantara ini. Sedangkan yang dimaksud dengan Meki adalah roh gaib yang sejenis dengan Wonge, hanya Meki biasanya selalu meminta imbalan tumbal nyawa manusia, sehingga lebih mengarah pada “Ilmu Hitam“. Istilah lain untuk Meki adalah Lobi-Lobi. Lobi dalam bahasa Ternate berarti “kabut“, pengertiannya adalah bahwa kadang-kadang orang awam yang secara tidak sengaja sering melihat penampakan Meki ini, misalnya di pohon besar, di dalam goa, atau tempat-tempat mistis lainnya. Menurut kepercayan masyarakat tradisional di Ternate, bahwa roh gaib jenis Wonge, Jin dan Meki memiliki komuntas gaib tersendiri di dunianya seperti komunitas manusia di dunia nyata, mereka juga memiliki desa, kota, pasar, bahkan kendaraan, namun dalam bentuk gaib.
Sedangkan Caka adalah salah satu jenis roh gaib yang berada dan tidak jauh dari lingkungan dan dan bahkan berada dalam kehidupan manusia. Caka adalah bahasa asli Ternate, sedangkan istilah terhadap roh gaib yang jahat ini juga sering disebut dengan “Suwanggi“, bahkan lebih populer istilah ini dari pada Caka. Secara harafiah, saya belum mendapatkan pengertian kata ini hingga menjadi istilah yang masih tetap populer di masyarakat Ternate hingga saat ini. Selama ini, Caka biasanya melakukan penampakan dengan dua cara, yaitu pertama melaui penampakan di tempat-tempat tertentu di sekitar lingkungan tempat tinggal bahkan di dalam rumah sekalipun. Cara yang kedua adalah dengan merasuki ke dalam raga seseorang sehingga orang tersebut dengan tanpa sadar melakukan hal-hal diluar kesadarannya. Biasanya jiwa orang-orang yang tamak, pendendam, jiwa yang sedang hampa dan bermacam macam lainnya sering dirasuki Caka ini. Dan biasanya pula roh jahat tersebut menempati raga seseorang tersebut secara terus-menerus pada saat-saat tertentu, sehingga orang sekampung pasti mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah “Caka”.
Jiwa yang dirasuki oleh Caka ini kebanyakan kaum wanita, namun ada juga beberapa kaum lelaki yg juga menjadi pelanggan roh jahat ini dan bahkan lebih jahat lagi Caka perempuan. Caka laki-laki biasanya lebih “Tomole” (sadis) daripada caka perampuan. Sasaran yang dijadikan obyek yang sering diganggu oleh Caka ini adalah, bayi yang baru dilahirkan, karena menurut masyarakat Ternate, bayi yang baru lahir adalah makanan empuk dari Caka ini. Selain itu Caka suka mengganggu orang lain yang sedabg tidur, sehingga ybs kadangkala ketakutan sepanjang malam. Jenis lain dari Roh Jahat yang dikenal di Ternate adalah Puntiana, yang sama seperti di daerah-daerah lain yang dikenal dengan “Kuntilanak“.
Pengertian Giki lebih mengarah pada profil gaib yang lebih tinggi dan lebih mulia dan tidak ada yang bisa menyamainya, yaitu sang pencipta (Tuhan). Dalam bahasa Ternate, Tuhan sang pencipta alam dijuluki dengan istilah “Giki Amoi” (Amoi=hanya satu-satunya, maksudnya Allah yang hanya satu)
Sedangkan Mancia Moro, adalah manusia gaib, saya menyebutnya “Bangsa Moro” memang belum ada orang yang teliti tentang mereka, Keberadan mereka di dunia tidak nyata (gaib), Memang diakui, eksistensi Mancia Moro ini masih simpang siur dan menjadi perdebatan oleh beberapa kalangan. Namun demikian, untuk mendeskripsikan kajian tentang mereka, dalam bentuk tulisan, masih ada jalan lain yaitu, harus dilakukan penelitian tersendiri. Namun demikian ada sebahagian orang-orang di Maluku Utara sana yang tidak percaya dengan eksistensi “Mancia Moro” ini termasuk cerita2 mistis seputar “Bangsa Moro” ini.
Sumber utama bahasan ini hanya ada di :
(www.busranto.blogspot.com) dan (www.ternate.wordpress.com)
Tidak dilarang untuk mengcopy, asalkan disebutkan sumbernya…